Sunday, May 08, 2016

Education as an Escalator for the Bright Future bersama PPI Jepang


Seperti yang tertera dalam edaran, tiga orang sesepuh dalam bidang pendidikan di Indonesia dijadwalkan ngumpul di TiTech meski start agak terlambat dari jadwal. jujur saja, ini event semi serius PPI yang saya ikuti pertama kali, karena keterbatasan akses dan waktu, namun untunglah masih sempat ngobrol dengan sesama peserta yang kebetulan beberapa diantaranya sudah pernah ketemu di acara yang lain.
Pengantar oleh bu Alinda, yang menyampaikan bahwa secara kebetulan tiga tokoh ini berada di Jepang dalam kurun waktu yang berdekatan, sehingga aji mumpung-nya juga cukup ikut andil. 
Materi dimulai oleh pak Aman, yang jujur saja, ini kali pertama saya 'mengetahui' beliau, terlebih bidangnya dalam food science. sekilas perkenalan, pak Aman mulai menyampaikan materi yang dikemas dalam cerita dari pengalaman beliau sebagai dosen hingga rektor serta keikutsertaan aktif dalam berbagai organisasi. inti dari materinya adalah Standard Setting, terutama dalam dunia akademis, bagaimana compliance dan penjaminan mutu yang diperlukan. opo iki?? hehe, untungnya saya pernah ikut workshop kelaikan udara, yang materi dasarnya kurang lebih serupa, jadi ya sedikit banyak tinggal mengiyakan, ho oh, serta naruhodo ne, hehe. di bagian akhir, beliau menambahkan poin tentang ethics in science, culture diversity, networking, serta krusialnya aktif berorganisasi.
sesi kedua, giliran pak Nuh untuk menyampaikan materi. memang, beliau secara khusus datang ke Jepang dalam rangka menerima penghargaan dari Kaisar bersama beberapa orang dari negara lain yang terpilih, sehingga secara sengaja beliau sudah menyiapkan materi yang isinya lumayan menohok uhuk uhuk. mulai dari cerita kesuksesan kompetisi seorang manusia sejak bentuk sperma kemudian bekerjasama dengan sel telur, materi mengalir kepada cita-cita memotong mata rantai kemiskinan melalui pendidikan, dengan segala upaya yang sudah dan diupayakan oleh pemerintah. beliau dengan gamblang menjelaskan mimpi era keemasan Indonesia pada 2045, tepat 100 tahun setelah merdeka, dengan potensi usia produktif yang dimiliki populasi demografi 2005-2035. pemahaman global trends serta kemampuan melihat masa depan menjadi kunci agar generasi ini tidak salah urus, terutama dengan penyakit sosial 3K (kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan peradaban). pak Nuh menyampaikan dengan gaya khas wong Jawa Timuran, hingga beberapa kali peserta masih roaming menanggapi humor cerdas yang dilontarkan beliau. pada bagian penutup, beliau berpesan agar para mahasiswa ini senantiasa berbakti pada orang tua (kandung, mertua dan para guru), gemar bersedekah, sigap beradaptasi dengan perubahan zaman, kerja keras serta bagi yang muslim, menambah amalan sholat malam dan sholawat.
Pak Bustanul mendapat giliran terakhir menyampaikan materinya. seperti pak Aman, sebenarnya beliau datang ke Jepang dalam rangka 'kedinasan' yang lain (dua-duanya aktif di organisasi internasional yang mewajibkan 'plesir dinas' keluar negeri) namun berhasil diculik bu Alinda. sebagai ekonom senior, analisa pak Bustanul sangat detil dan menyeramkan, ditambah dengan gaya penyampaian yang perlahan, sehingga ancaman middle income trap serta knowledge base economy sedikit banyak bisa saya terima.
Di penghujung, sesi tanya jawab mengalir dengan santai namun mengena. jawaban dari para sesepuh sangat menginspirasi dan menyegarkan pola pikir, terutama bahasan pengangguran intelektual serta masalah kronis lulusan luar negeri yang senantiasa kehabisan dalih karena tidak dapat mengaplikasikan ilmunya di tanah air tercinta. "jika anda punya nasionalisme; setelah mendapat kesempatan memperoleh pendidikan di luar negeri, masak gak bisa mikir?", kurang lebih begitu penutup yang disampaikan pak Nuh, menekankan kembali apa arti nasionalisme dan kesempatan bagi peserta. 
mikir yuk, berprestasi dari yang kecil, dan tingkatkan kreatifitas :D 

No comments: