Sudah
beberapa kali saya membaca buku karya Emha Ainun Nadjib, namun sepertinya buku
ini yang paling memberi banyak pelajaran “hidup” dan kesan yang cukup mendalam
(ya iyalah, lha wong baru selesai dibaca, hehehe). Meski pada awal buka buku,
sempat agak kecewa karena ternyata ini adalah buku yang terbit ulang, setelah
sukses di tahun2 penerbitan awalnya, namun makin mendekati halaman akhir,
ternyata masih banyak isi dari buku ini yang relevan dengan kondisi kehidupan
kita sekarang ini.
Buku
ini diterbitkan pertama kali tahun 1993, hmm, tahun segitu saya baru duduk di
bangku kelas lima SD, jelaslah belum ngerti tentang apa dan siapa itu Markesot,
meski sebenarnya artikel2 dalam buku ini adalah ‘rangkuman’ dari artikel rutin
Markesot yang diterbitkan salah satu koran ternama di Jawa Timur. Bahkan,
sempat saya membaca, secara tidak sengaja, pihak penerbit sempat meragukan isi
cerita di buku ini, karena sekali lagi, tulisan2 ini digarap Emha / Cak Nun
berdasarkan kondisi yang sedang hangat waktu itu, sekitar tahun 1990an. Bagi
anda yang sudah memasuki usia remaja saat itu, mungkin buku ini akan jadi flash
back yang sangat baik bagi memori anda. Namun bagi generasi seperti saya,
sangat membantu dalam ‘mengetahui’ kondisi masyarakat, terutama di Jawa Timur,
tempat kelahiran saya, dimana istilah “mbambung”, “sak karepe dhewe”, “diamput”
dan istilah khas jawa-timuran, menjadi terasa de-javu dan membenarkan setiap
omongan dari Markesot.
Beberapa
istilah akademis, memang sampai sekarang masih saya rasakan sulit dimengerti
dan terlalu ‘tinggi’, meski sebenarnya ‘kata-kata’ tadi adalah hal umum yang
gampang kita jumpai dalam rubrik tajuk rencana pada koran2 di sekitar kita.
Saya memang belum bisa rutin membaca koran tiap hari, namun membaca setiap
kisah Markesot ini, cukuplah bagi saya untuk mengetahui bagaimana kondisi
masyarakat “mbambung” saat ini, dan relevansi-nya terhadap kehidupan kita
sekarang.
Ada
beberapa nilai yang menurut saya, telah memberikan nilai inspiratif, yang
tentunya akan saya usahakan untuk diterapkan dalam menjalani kehidupan ini,
yaitu :
- Nilai
agama tidak pernah berubah, dan ajaran yang sudah ditetapkan berisi tentang
petunjuk / kaidah kehidupan, yang insyaallah akan menuntun kita kepada
kehidupan yang sejahtera.
- Saya
setuju dengan Markesot, bahwa leluhur kita mengajarkan agama sebagai algojo,
aturan2 yang keras, yang terlalu membatasi, sehingga kebanyakan dari kita
menganggap agama sebagai aturan hukum yang mengikat dan sekali lagi, membatasi.
Bukankah akan nikmat jika kita merubah pola pikir kita terhadap agama layaknya
nilai2 budaya yang berlaku dalam kehidupan kita? Mencoba untuk berubah, akan
sangat lebih baik, daripada berdiam diri meski kita tahu bahwa itu hal itu
kurang tepat? Iya tho,
- Hidup
adalah perjuangan, Allah yang akan menilainya. Tidaklah perlu kita berkeluh
kesah, karena hidup sudah ada aturannya, dan yakinlah bahwa Allah memberikan
ujian kepada makhluk-Nya dengan kepastian bahwa mereka akan sanggup
menghadapinya. Segala kenikmatan di dunia ini, anggaplah sebagai bonus awal
dari hasil jerih payah kita berjuang.
- Anda
termasuk kaum cerdik pandai atau “wong pinter” yang berkesempatan menjadi
pemimpin? Ojo lali wong cilik ya, wong mbambung yang telah memberikan amanah
untuk Anda pimpin,
- Nikmati
hidup ini! Anda sudah berjuang setiap hari, setiap saat bergumul dengan jerih
payah, untuk apa jika malah terjerumus dalam kesibukan yang terus-menerus tanpa
bisa merasakan apa yang telah Anda hasilkan?! Tapi ingat, janganlah berlebihan, bukankah ajaran agama pun tidak menyukai hal-hal yang berlebihan.
Cukup
sekian dari Markesot, dengar2 ada sekuelnya, tapi apakah penerbit kembali
berani menerbitkannya? Kita tunggu saja.
-wis-