Beberapa waktu yang lalu, kembali muncul
pemberitaan tentang penelantaran pasien oleh salah satu rumah sakit ternama di
level provinsi Jawa Barat. Meski hanya sekilas, namun masalah hampir selalu
berkutat dengan anggapan bahwa pihak rumah sakit tidak bisa menerima pasien
tersebut karena miskin/tidak mampu secara ekonomi, meskipun mereka (pasien)
sebenarnya telah mengantongi kartu BPJS atau sejenisnya.
Miris memang, mengingat kesehatan adalah
kebutuhan mendasar manusia setelah makanan, pakaian dan tempat tinggal. Apalagi
telah dibuat aturan yang mengikat tentang penyelenggaraannya, dengan harapan
masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan semaksimal mungkin. Tapi,
dengan sering munculnya kejadian “penolakan” ini, patut rupanya dicarikan
solusi yang mudah dipahami juga dimaklumi oleh masyarakat awam kita.
Mengapa saya memilih kata awam?? Karena memang,
saya juga bagian dari mereka itu, masyarakat awam yang hanya secuil-secuil
berusaha memahami dan mengerti keadaan yang terjadi di sekitar kita. Sebelum back
to topic, saya menegaskan bahwa saya bukanlah pegawai BPJS or asuransi sejenis,
saya murni konsumen yang beberapa waktu lalu juga keberatan dengan kerumitan
proses BPJS maupun claim kepada pihak asuransi yang saya ikuti, apalagi
mengingat janji dan tawaran manis mereka saat menawarkan produknya (prospek-ing),
ah …
Sejalan dengan waktu, ditambah dengan
pengalaman langsung terlibat dalam proses tersebut, sedikit demi sedikit saya
mulai memahami sekaligus memaklumi kendala yang terlanjur sering
dipermasalahkan oleh sebagian besar masyarakat. Pertama, proses BPJS yang
berjenjang dari faskes I sampai dengan rujukan ke rumah sakit tingkat lebih
tinggi mungkin perlu sosialisasi lebih intensif, mengingat ‘kemudahan’ yang
selama ini berlangsung, jika saya sakit maka saya dapat berobat ke lembaga
kesehatan (rumah sakit/puskesmas) TERDEKAT, tanpa melihat status lembaga
tersebut. Sistem rujukan berjenjang sebenarnya akan sangat memudahkan JIKA
dilaksanakan ideal sesuai konsep yang digadang pemerintah. Saya sendiri
mengalami pada saat harus mampir klinik radiologi dengan membawa rujukan dari
dokter dari faskes I, namun tetap harus ‘rela’ mengantri kembali di klinik
sejenis pada faskes yang memiliki unit radiologi, hanya karena sistem di faskes
tersebut mengharuskan seperti itu. Ya, waktu terbuang meski pada akhirnya
tujuan saya tercapai.
Aturan yang dibuat dalam sistem mungkin sudah
bagus, namun dalam pelaksanaan ADAAAA saja ‘penyesuaian’ jikalau itu tidak
boleh disebut penyelewengan. Nah, hal-hal seperti inilah yang layak disampaikan
dalam sosialisasi agar saya serta konsumen yang terhimpun dalam kelompok
masyarakat ini bisa maklum tanpa berkoar di media (massa + sosial) hingga pada
akhirnya pihak lembaga kesehatan menggelar konferensi pers guna memberi
kejelasan dari sudut pandang mereka. (kok kayak kesimpulan nih?? Memang, topik
saya cukupkan sementara sampai disini dulu, bahasan kedua dst menyusul).