Sunday, February 01, 2015

Pelayan(an) Kesehatan bagi Masyarakat Awam


Beberapa waktu yang lalu, kembali muncul pemberitaan tentang penelantaran pasien oleh salah satu rumah sakit ternama di level provinsi Jawa Barat. Meski hanya sekilas, namun masalah hampir selalu berkutat dengan anggapan bahwa pihak rumah sakit tidak bisa menerima pasien tersebut karena miskin/tidak mampu secara ekonomi, meskipun mereka (pasien) sebenarnya telah mengantongi kartu BPJS atau sejenisnya.

Miris memang, mengingat kesehatan adalah kebutuhan mendasar manusia setelah makanan, pakaian dan tempat tinggal. Apalagi telah dibuat aturan yang mengikat tentang penyelenggaraannya, dengan harapan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan semaksimal mungkin. Tapi, dengan sering munculnya kejadian “penolakan” ini, patut rupanya dicarikan solusi yang mudah dipahami juga dimaklumi oleh masyarakat awam kita.
Mengapa saya memilih kata awam?? Karena memang, saya juga bagian dari mereka itu, masyarakat awam yang hanya secuil-secuil berusaha memahami dan mengerti keadaan yang terjadi di sekitar kita. Sebelum back to topic, saya menegaskan bahwa saya bukanlah pegawai BPJS or asuransi sejenis, saya murni konsumen yang beberapa waktu lalu juga keberatan dengan kerumitan proses BPJS maupun claim kepada pihak asuransi yang saya ikuti, apalagi mengingat janji dan tawaran manis mereka saat menawarkan produknya (prospek-ing), ah …
Sejalan dengan waktu, ditambah dengan pengalaman langsung terlibat dalam proses tersebut, sedikit demi sedikit saya mulai memahami sekaligus memaklumi kendala yang terlanjur sering dipermasalahkan oleh sebagian besar masyarakat. Pertama, proses BPJS yang berjenjang dari faskes I sampai dengan rujukan ke rumah sakit tingkat lebih tinggi mungkin perlu sosialisasi lebih intensif, mengingat ‘kemudahan’ yang selama ini berlangsung, jika saya sakit maka saya dapat berobat ke lembaga kesehatan (rumah sakit/puskesmas) TERDEKAT, tanpa melihat status lembaga tersebut. Sistem rujukan berjenjang sebenarnya akan sangat memudahkan JIKA dilaksanakan ideal sesuai konsep yang digadang pemerintah. Saya sendiri mengalami pada saat harus mampir klinik radiologi dengan membawa rujukan dari dokter dari faskes I, namun tetap harus ‘rela’ mengantri kembali di klinik sejenis pada faskes yang memiliki unit radiologi, hanya karena sistem di faskes tersebut mengharuskan seperti itu. Ya, waktu terbuang meski pada akhirnya tujuan saya tercapai.

Aturan yang dibuat dalam sistem mungkin sudah bagus, namun dalam pelaksanaan ADAAAA saja ‘penyesuaian’ jikalau itu tidak boleh disebut penyelewengan. Nah, hal-hal seperti inilah yang layak disampaikan dalam sosialisasi agar saya serta konsumen yang terhimpun dalam kelompok masyarakat ini bisa maklum tanpa berkoar di media (massa + sosial) hingga pada akhirnya pihak lembaga kesehatan menggelar konferensi pers guna memberi kejelasan dari sudut pandang mereka. (kok kayak kesimpulan nih?? Memang, topik saya cukupkan sementara sampai disini dulu, bahasan kedua dst menyusul).