Wednesday, July 20, 2016

Mudik 1437 H - rute neraka

sesuai judul, memang mudik kali ini lumayan menyisakan trauma. sedari awal perencanaan yang memang terombang-ambing karena perubahan kebijakan cuti dari kantor, plus musibah saat ibu dikabarkan ngamar di rumah sakit. alhasil, rencana juga ikut berantakan yang juga disokong planner sesama mahasiswa galau, halah.

rencana awal.
pada mulanya, setelah flight Narita-Denpasar-Bandung (rute sengaja dipilih guna hindari macet Cikampek), istirahat 2 hari lanjut Bandung-Sby terus ngebis ke Probolinggo pas malam takbir sampai hari Minggu dengan rute sebaliknya. plus, rencana rental/carter kendaraan buat main ke Jatim Park pada Jumatnya. good route, meski dana juga jadi bengkak karena pakai kendaraan umum, dan juga tidak bebas ganti plan/mampir sana-sini

faktanya,
rute Narita-Denpasar lancar jaya, meski startnya agak sedikit berubah, masih okelah bisa in time. petaka mulai saat pengambilan bagasi di DPS, lamaaaaaaaaaa banget. entah karena sudah terbiasa dengan ritme kerja di Jepang, namun klo belt bagasi baru muter sejam setelah turun dari pesawat kok ya kelewatan banget. sambil lelarian kejar check in buat flight ke Bandung, alhamdulilah antrian gak terlalu panjang. safe? tunggu dulu.
flight ke Bandung ini memang satu2nya yg available dari hitungan jam sekaligus flight terakhir hari itu. tapi yah, berhubung maskapainya si singa merah yang sudah tersohor dengan delay-nya, ya begitulah. beruntung saya delay hanya 90 mins (45mins di lounge, sisanya menunggu di pesawat), karena beberapa flight tujuan SBY dan JKT, bahkan ketika sudah tiba jam-nya, pesawatnya belum juga berangkat menuju DPS. plus kondisi pesawat yang kumuh, namun masih bisa dimaklumi jika dibandingkan dengan terbang domestik menggunakan Delta Airways rute Seattle-SF awal tahun lalu.

Image result for brebes timur macetrencana bersantai dengan keluarga mendadak sirna karena ibu dikabarkan rawat inap sejak semalam. capek, takut dan bingung, mendorong pengambilan keputusan yang kurang bijak : tiket BDG-SBY p.p dibatalkan dan pilih jalan darat, toh siapa yang bertanggung jawab klo ada apa2 dengan ibu dalam 2hari ini?? akhirnya, malam itu langsung berangkat dengan persiapan seadanya, toh puncak mudik sudah terlewati semalam, dan infonya tol sudah lancar.

neraka
memang benar adanya, tol sudah sepi. jika bukan karena hujan deras, mungkin si putih bisa melaju 100km/jam hingga ke ... palimanan saja. kok?? ya, hanya 2km setelah exit Kanci, antrean kendaraan berhenti mengular di tengah gelapnya malam. crosscek google map dan berita, kabarnya berujung hingga brexit timur. tak ingin pengalaman tahunan di pertigaan palimanan berulang, kami putuskan putar balik untuk keluar Kanci, karena tahun lalu jalur pantura relatif lebih longgar meski merambat. namun memang luar biasa, tak sampai setengah kilometer dari pertigaan Kanci pun, kendaraan sudah merambat. beberapa kendaraan mulai tidak sabar, mereka pun berinisiatif memakai jalur disebelah yang memang melompong oleh hanya beberapa motor. hanya 100m jalan, kemudian terhenti lagi setengah jam. kejadian berulang, hingga akhirnya 4jalur pantura terisi penuh kendaraan kearah timur, dan tidak bergerak. saat itu jam 3pagi, dan saya hanya berhasil menambah jarak 2km dari pertigaan Kanci. 
jam 6pagi, masih tidak bergerak dan saya sempat curi tidur setelah shubuhan. pegal dan penat mulai terasa ketika secercah harapan timbul, ada pergerakan di depan sana. para penumpang bus maupun mobil pribadi yang awalnya bertebaran di pinggir jalan, sontak kembali ke kendaraan masing2. namun, hanya 1km berselang, kembali kendaraan terhenti, dan kami pun sepakat mematikan mesin kembali. jam 8pagi, kembali ada pergerakan, namun ya begitu, 1km dan berhenti lagi, matikan mesin lagi. sementara udara pantura semakin panas, lama kelamaan saya tidak tega dengan istri dan 2 anak kecil di belakang, namun dihadapkan pilihan dilematis, hidupkan AC dan percepat habisnya fuel atau melawan panas dengan melipir ke bahu jalan. dengan sisa2 baterai di hp, diperoleh berita bahwa di depan sana, banyak mobil mogok kehabisan fuel karena seharian macet dan beberapa SPBU juga kehabisan stok karena tanki BBM terjebak macet. what???? tak tahan dengan panas, kami minggir ke rumah makan terdekat untuk rehat, toh melihat sikon juga luar biasa macetnya. kami pun segera numpang mandi, meski hanya kebagian sayur mie instan (stok makanan juga terhalang macet, begitu kata pemiliknya). setelah dhuhur, kami lanjut perjuangan menembus macet, meski dihantui stok fuel yang terbatas. 
benar saja, butuh waktu satu jam hanya untuk antre di SPBU terdekat, itupun pakai aksi bicara man-to-man dengan beberapa pengemudi mobil lainnya supaya tidak berebut antrian. namun usaha saya seakan sia2 karena serbuan pengendara motor yang dengan lincah masuk di antara antrian mobil yang berusaha rapi. ah, memang bangsaku tidak pernah ditekankan pentingnya antri dan menghargai diri sendiri. full tank dengan pertamax, insyaallah satu masalah sudah terlewati, tinggal mengalir mengikuti arus kemacetan yang nampaknya mulai menunjukkan titik terang. 
harapan kembali sirna, ketika akhirnya pertigaan Pejagan terlewati, namun kembali terhampar antrian 4jalur di depan mata. trauma dengan kejadian semalam, akhirnya kami putuskan untuk putar balik ke jalur semi tengah, mematuhi anjuran rambu yang terpasang. dan benar adanya, kami baru memasuki neraka yang sebenarnya. 

lewat 24 jam
entah mana yang lebih baik antara berhenti ala sistem buka tutup atau merambat dengan konsekuensi mesin ON terus. inilah yang terjadi ketika saya mulai masuk menyusuri jalur tengah, dimana lebar jalan menjadi setengah dari pantura, namun dengan kepadatan yang sama. saat istirahat makan malam sambil maghriban, saya mendapati badan terasa agak panas dan gemetar. memang sudah seharian saya tidak berpuasa, namun juga demi menghemat stok air, saya juga berusaha seminimal mungkin memprioritaskan bekal yang ada untuk anak dan istri, pun dengan makanan. juga, jika dirunut, sudah 3 hari ini saya tidak tidur lebih lama dari 3 jam. semoga ndak tipes. sudah lebih 24 jam sejak keberangkatan dari Bandung, namun kami tak kunjung mencapai titik tengah perjalanan ke Semarang, yaitu kota Tegal. jalan yang kami tempuh sekarang membukakan mata tentang begitu kacaunya seharian tadi. betapa tidak, setiap kali mendekati lokasi SPBU, pasti ditandai dengan jejeran ratusan meter mobil ditengah jalan dalam keadaan mati tak berpenumpang. SPBU sendiri berubah seperti arena antri sembako, dimana orang-orang berbaris membawa jerigen maupun botol aqua, pun tanpa kepastian stok BBM di SPBU tersebut. begitu berulang sepanjang jalan dari exit Pejagan hingga Slawi, sampai terbersit apakah semua ini adalah hasil rekayasa? berapa jumlah pemudik muslim yang terpaksa membatalkan puasanya, kemudian terlantar, bahkan ada yang meninggal akibat kelelahan bermacet ria ini?? secercah harapan timbul saat kota Slawi terlewati, beberapa tanda jalur alternatif terlihat. dan benar saja, meski jalan kampung belum teraspal rata, hampir tidak ada mobil yang lewat di jalan ini. hape sudah tidak dapat diakses karena lobet, saya sudah berserah diri sepenuhnya kepada yang diAtas, nyasar pun, sebentar lagi shubuh, orang kampung akan banyak yang ke masjid dan bisa untuk bertanya. saya pun terus melaju, maju dan voila, PANTURA lagi. kota Tegal terlewati, namun kondisi semalam berulang, 4jalur dan macet.

alternatif
gembira namun putus asa, setengah jalan sudah terlewati namun kembali terhampar situasi yang sama dengan sebelumnya. saya kembali tertidur, di tengah jalan, bersama ribuan kendaraan lainnya, hingga adzan shubuh hari kedua berkumandang dan ada sedikit celah untuk keluar jalur untuk mencari masjid terdekat. kesempatan rehat saya manfaatkan untuk charging, badan, pikiran dan hape. alhamdulilah, ada pencerahan dari jamaah shubuh masjid tersebut, bahwa ada jalur alternatif yang insyaallah sepi meski berupa jalan desa dan agak melambung. biarlah, asal kendaraan bergerak, paling tidak panasnya matahari akan sedikit terkurangi. atas saran rute tersebut, bergegaslah saya memacu si putih mengikuti petunjuk jalur alternatif ke Semarang. sepi, berkelok naik turun layaknya jalan Sumedang - Cimalaka. itulah sepanjang 200km lebih yang harus saya tempuh sambil sesekali bertanya kepada penduduk lokal di setiap persimpangan dengan keyword "alternatif, Semarang, bukan Pantura". sempat kami kembali berjumpa jalan Pantura, di saat itu juga kami langsung putar balik kanan. kami terus melaju dan memaksakan untuk menghindari jalan utama, hingga akhirnya selewat dhuhur, bapak mertua berela hati menjemput sebagai guide di 30km terakhir demi cucu2nya. alhamdulilah, sebelum adzan ashar hari kedua, kami tiba di Semarang setelah menempuh perjalanan selama 40jam, untuk jarak 400km (odometer menunjuk angka 550km, ekstra melambung dan putar balik).

kemana aparat?
risih saat mengingat rusuhnya antri di SPBU dimana konsumen saling berebut mengisi BBM, dan memang, hampir tidak ada aparat yang terlihat sepanjang perjalanan. entah karena saya melewati sedikit persimpangan, namun jumlah aparat berseragam yang saya temui, jika dibanding dengan tahun sebelumnya dan kondisi saat arus balik, sangat sangatlah sedikit, jika tidak boleh dibilang tidak ada. 

semoga, kejadian ini tidak berulang karena saya yakin telah meninggalkan trauma membekas bagi mereka yang mengalaminya.