Wednesday, March 09, 2016

Menjejakkan kaki di benua Amerika (II)

Hari kedua
waktunya menikmati hidup, hehe setelah malam sebelumnya sensei sudah memberikan ijin unofficial untuk sekedar berkeliling kota. sesuai rencana, pagi diniatkan untuk menghadiri konferensi sambil hunting souvenir, siangnya baru lanjut wisata. namun apa daya, cuaca tidaklah mendukung, hingga akhirnya diputuskan untuk merogoh bekal demi membeli payung, ah, padahal sudah antisipasi dengan melihat prakiraan cuaca, tapi tetap saja sore itu hujan badai telah menanti. 
capek memang tidak bisa dilawan ketika jam biologis tubuh mengisyaratkan untuk istirahat, sekental apapun kopinya, tidak pernah bisa melawan sedetik dengan terlelap. yup, bahkan ketika mendengarkan paparan orang lain pun, mata sekejap tertutup hingga terbangun oleh tepuk tangan hadirin tanda selesai paparan. ah, dasar siswa.
setelah sholat dan makan siang plus tidur sebentar, saya memberanikan diri untuk menapakkan kaki sesuai rencana semalam untuk melihat San Fransisco lebih jauh. keinginan untuk naik kereta tram saya buang jauh2, alasan utama karena mahal dan jarak tempuh yang masih bisa dimaklumi dengan kaki. tanjakan sepanjang jalan menuju Chinatown, kembali ke arah Downtown sampai deretan dermaga Pier dengan Bay Bridge terlewati di tengah gerimis tipis. ketika sang surya mulai tenggelam, kembali hujan angin layaknya di wilayah tropis menerpa, tandanya harus kembali menuju penginapan. saya pun menyempatkan mampir kembali ke sesi poster malam itu, mengingat sebenarnya semalam saya malah tak sempat melihat apa yang disajikan orang lain yang senasib dengan saya hehe. 
hujan semakin deras, ketika akhirnya saya memutuskan untuk masuk sebuah mall dan secara tak sengaja menemukan foodcourt ala pusat perbelanjaan di Indonesia, yang artinya lebih banyak pilihan menu untuk makan malam. alhamdulilah, ada sebuah francise masakan Jepang yang menawarkan nasi dan ayam teriyaki, serta dengan harga yang masuk akal. akhirnya, bisa makan nasi.

Hari ketiga
semalam, teman sekamar saya, yang ketiganya adalah mahasiswa dari Korea Selatan menceritakan perjalanan sukses mereka naik bus, menuju area Fisherman Wharf yang katanya ramah bagi pengunjung asing, dilanjutkan rental sepeda melintasi Golden Gate, dan kembali dengan naik kapal ferry. layak untuk dicoba, hanya yang saya risihkan, biaya yang dikeluarkan untuk rute itu jelas melampaui tarif menginap semalam di hostel ini, duh, makanya saya pun putar otak pencet hp untuk cari alternatif murah-cepat-tidak capek untuk sekedar membuat rute jalan ke Golden Gate Bridge serta kembali.
walhasil, setelah sepagian berkelebat di area konferensi, momen setelah makan siang dan sholat tidak boleh dihamburkan sedetik pun. sesuai info Google, saya bisa berkeliling kota selama 90 menit via bus dengan sekali membayar US$2.25. dan alhamdulilah, sopir bis pertama yang saya naiki menuju ke Golden Gate menggratiskan perjalanan saya, setelah memastikan saya seorang visitor untuk wisata. puas berfoto di Golden Gate, saya kembali cek rute bis. kali ini resmi membayar untuk trip 90 menit tadi, dan syukurlah, saya merasa kurang sreg dengan area Fisherman Wharf yang memang sepertinya dikhususkan bagi wisatawan, jadi setelahnya saya langsung cari bis lagi untuk melambung sisi lain San Fransisco. 
90 menit tak berasa sudah berlalu, memang belum ujung ke ujung kota ini saya jejaki, namun cukuplah dengan jika dibanding dengan durasi yang saya miliki. sisa waktu malam saya gunakan untuk membeli oleh-oleh setelah dua hari acara berburu membandingkan harga di setiap sudut penjual kenang2n ini. kembali ke kamar pun, ketiga teman kamar saya tengah bersiap packing karena penerbangan mereka esok pun, hanya berselisih hitungan menit dengan saya.

Kembali
begitu alarm pagi berbunyi, saya bersegera bangun kemudian mandi dan bersiap sarapan dan check out. masih cukup waktu hingga penerbangan saya ke Seattle, namun mengingat sistem kereta disini dan pengecekan bandara yang cukup ketat kemarin, saya mengurangi resiko terlambat dengan berangkat jauh lebih awal dan dengan tujuan bisa agak santai. benar saja, kereta ke bandara lumayan jarang, ditambah oper ke terminal tujuan yang membutuhkan waktu tunggu sehingga saya pun tetap dalam kondisi tergesa2 ketika pengecekan security kembali menimbulkan antrian. pun, akhirnya saya in time boarding, meski dengan status the last passenger. dan sialnya, saat ready taxi, pesawat pun delay sekitar 20menitan, yang artinya nanti di Seattle saya hanya punya sisa 10 menit untuk pindah pesawat, waduh.
pilot pesawat dari San Fransisco memotong waktu perjalanan 5 menit lebih cepat, yang harus saya manfaatkan sebaik mungkin. ternyata, beberapa penumpang lain juga segera berlarian begitu menginjakkan kaki di Seattle, rupanya senasib. alhamdulilah, meski sempat diomeli pramugari tua yang sepertinya sedari tadi mencari-cari penumpangnya, akhirnya saya bisa terduduk di kursi pesawat ke Narita, dan begitu klik sabuk pengaman, pesawat langsung taxi. dalam perjalanan pulang ini, barulah saya sadar setelah menonton dokumenter tentang Silicon Valley San Fransisco. pantesan kemarin liat ada plangnya @twitter gede, ahahaha, dan infonya juga kemarin pak Jokowi juga kuker kesana. 
entah kapan lagi bisa ke Amerika, namun cukuplah perjalanan ini berkesan, selain gratis dan saya-nya pun tidak lebih dari untul-munyuk, namanya rejeki dari ALLAH, wajiblah kita bersyukur, alhamdulilah.

Tuesday, March 08, 2016

Menjejakkan kaki di benua Amerika (I)

Persiapan
Mungkin kisah yang paling tepat sebagai ibarat cerita ini adalah film Inception-nya DiCaprio, bermimpi di dalam mimpi, namun versi saya ini adalah kenyataan. Jika dirunut dari awal, seperti hal yang mustahil, ketika setahunan lalu, saat dosen pembimbing saya menyampaikan rencananya untuk mengikutkan saya dalam konferensi tahunan di Amerika Serikat terkait research. Waktu itu saya hanya mengiyakan saja, tanpa ada pikiran lebih jauh akan bagaimana dan seperti apa hingga tiba saatnya untuk registrasi dan mulai serius menggarap materi yang akan disampaikan saat konferensi. Ada sedikit keraguan, bahkan ketika aplikasi saya dinyatakan diterima, bahkan surat undangan sebagai bukti tambahan untuk aplikasi visa pun sudah ditangan, mengingat tidak sedikit rekan seprofesi yang ditolak visa-nya meskipun resmi menerima undangan dari pemerintah Amerika. Namun alhamdulilah, visa dengan mudah diperoleh, tiket pesawat pun didapat dengan harga bersahabat, serta referensi penginapan yang masih on budget sebagai mahasiswa.

Perjalanan
Rute kampus ke Narita cukup melelahkan dengan waktu lebih dari 2 jam perjalanan kereta. Hujan, bahkan pada saat boarding akhirnya bersalju, cukup membuat keder, mengingat saya sengaja hanya membawa pakaian seadanya karena San Fransisco seharusnya sudah hangat. Perjalanan pesawat entah berapa jam, karena saya terlampau katrok untuk berhitung perbedaan waktu, yang juga menggagalkan upaya saya untuk tidur di pesawat. Imigrasi Amerika lewat tanpa ada kenangan berarti, namun scanning penumpang di Seattle cukuplah berkesan. Lepas sabuk dan sepatu, bahkan laptop anda pun akan memperoleh perlakuan khusus jika tidak dipisahkan saat scanning. Selebihnya, kepala saya mulai lelah, mungkin akumulasi perbedaan waktu dengan kurangnya jam tidur saat itu, sehingga penerbangan Seattle – San Fransisco pun jadi selintas lalu.
Tiba di San Fransisco, mulailah culture shock. Dari mahalnya tiket kereta dari bandara ke pusat kota, termasuk kondisi subway yang tidak senyaman di Jepang, hingga minimnya petunjuk bagi pengunjung asing. Turun dari kereta langsung maklum dengan kebersihan stasiun plus gelandangan yang bergelimpangan di luar stasiun. Amerika rashii, seperti yang di film-film.
Masuk ho(s)tel pun kembali harus maklum. Dengan harga segitu, ya serba minimalis, meski tidak menyangka juga dengan begitu banyaknya ge(landangan) peng(emis) di sekitar area hostel. Setelah setting barang dan menemukan kamar mandi, meski mata ngantuk berat, namun saying jika sudah sampai Amerika cuma kalah sama jetlag. Sore itu juga, langsung jajal kaki muter sekeliling penginapan untuk cari tempat makan, lokasi took oleh-oleh, dan yang terpenting, orientasi harga barang. Hari pertama berakhir dengan kesimpulan, harga makanan lebih mahal dari Jepang, susah nemu nasi plus inceran untuk omiyage sudah bisa dikalkulasi.
Hari kedua, War Day
Lokasi konferensi sudah di tracking jauh hari sebelum berangkat, alhamdulilah cukup dekat dari hotel, mengingat harus istirahat sholat dan makan siang. Check in daftar ulang lancar, sambil menunggu waktu paparan, muter area pameran yang memang luas buanget. Dan berbeda dengan konferensi pertama di Nagoya tahun lalu, selain exhibitor jumlahnya banyak, mereka juga tidak pelit kasih souvenir, yah minimal klo mau keliling, bisa jadi supplier bolpen, hahaha. Tidak terasa kaki mulai gempor saking antusiasnya hunting souvenir, hingga selepas makan siang terpaksa charging (baca: tidur) sebentar sambil menunggu waktu ashar.

Tiba saatnya kerja, setelah poster sudah digelar sedari pagi. Ternyata sensei sudah duluan di TKP, dan hingga akhir acara tetap standby di sekitaran, sepertinya puas saya tidak melambaikan tanda butuh bantuan menjawab pertanyaan pemirsa yang tertarik dengan “dagangan” saya. Alhamdulilah, paparan lancar. Niatnya mau memanjakan diri dengan makan di restoran layaknya adegan penutup MIB III, namun dompet ini tak rela hanya untuk seporsi makanan seharga US $15 belum minumnya, ah, malam ini pun menu pahe lagi.