Persiapan
Mungkin kisah yang paling tepat sebagai
ibarat cerita ini adalah film Inception-nya DiCaprio, bermimpi di dalam mimpi,
namun versi saya ini adalah kenyataan. Jika dirunut dari awal, seperti hal yang
mustahil, ketika setahunan lalu, saat dosen pembimbing saya menyampaikan
rencananya untuk mengikutkan saya dalam konferensi tahunan di Amerika Serikat
terkait research. Waktu itu saya hanya mengiyakan saja, tanpa ada pikiran lebih
jauh akan bagaimana dan seperti apa hingga tiba saatnya untuk registrasi dan
mulai serius menggarap materi yang akan disampaikan saat konferensi. Ada
sedikit keraguan, bahkan ketika aplikasi saya dinyatakan diterima, bahkan surat
undangan sebagai bukti tambahan untuk aplikasi visa pun sudah ditangan,
mengingat tidak sedikit rekan seprofesi yang ditolak visa-nya meskipun resmi
menerima undangan dari pemerintah Amerika. Namun alhamdulilah, visa dengan
mudah diperoleh, tiket pesawat pun didapat dengan harga bersahabat, serta
referensi penginapan yang masih on budget sebagai mahasiswa.
Perjalanan
Rute kampus ke Narita cukup melelahkan
dengan waktu lebih dari 2 jam perjalanan kereta. Hujan, bahkan pada saat
boarding akhirnya bersalju, cukup membuat keder, mengingat saya sengaja hanya
membawa pakaian seadanya karena San Fransisco seharusnya sudah hangat.
Perjalanan pesawat entah berapa jam, karena saya terlampau katrok untuk
berhitung perbedaan waktu, yang juga menggagalkan upaya saya untuk tidur di
pesawat. Imigrasi Amerika lewat tanpa ada kenangan berarti, namun scanning
penumpang di Seattle cukuplah berkesan. Lepas sabuk dan sepatu, bahkan laptop
anda pun akan memperoleh perlakuan khusus jika tidak dipisahkan saat scanning.
Selebihnya, kepala saya mulai lelah, mungkin akumulasi perbedaan waktu dengan
kurangnya jam tidur saat itu, sehingga penerbangan Seattle – San Fransisco pun
jadi selintas lalu.
Tiba di San Fransisco, mulailah culture
shock. Dari mahalnya tiket kereta dari bandara ke pusat kota, termasuk kondisi
subway yang tidak senyaman di Jepang, hingga minimnya petunjuk bagi pengunjung
asing. Turun dari kereta langsung maklum dengan kebersihan stasiun plus
gelandangan yang bergelimpangan di luar stasiun. Amerika rashii, seperti yang
di film-film.
Masuk ho(s)tel pun kembali harus maklum.
Dengan harga segitu, ya serba minimalis, meski tidak menyangka juga dengan
begitu banyaknya ge(landangan) peng(emis) di sekitar area hostel. Setelah
setting barang dan menemukan kamar mandi, meski mata ngantuk berat, namun
saying jika sudah sampai Amerika cuma kalah sama jetlag. Sore itu juga,
langsung jajal kaki muter sekeliling penginapan untuk cari tempat makan, lokasi
took oleh-oleh, dan yang terpenting, orientasi harga barang. Hari pertama
berakhir dengan kesimpulan, harga makanan lebih mahal dari Jepang, susah nemu
nasi plus inceran untuk omiyage sudah bisa dikalkulasi.
Hari kedua, War Day
Lokasi konferensi sudah di tracking jauh
hari sebelum berangkat, alhamdulilah cukup dekat dari hotel, mengingat harus
istirahat sholat dan makan siang. Check in daftar ulang lancar, sambil menunggu
waktu paparan, muter area pameran yang memang luas buanget. Dan berbeda dengan
konferensi pertama di Nagoya tahun lalu, selain exhibitor jumlahnya banyak,
mereka juga tidak pelit kasih souvenir, yah minimal klo mau keliling, bisa jadi
supplier bolpen, hahaha. Tidak terasa kaki mulai gempor saking antusiasnya
hunting souvenir, hingga selepas makan siang terpaksa charging (baca: tidur)
sebentar sambil menunggu waktu ashar.
Tiba saatnya kerja, setelah poster sudah
digelar sedari pagi. Ternyata sensei sudah duluan di TKP, dan hingga akhir
acara tetap standby di sekitaran, sepertinya puas saya tidak melambaikan tanda
butuh bantuan menjawab pertanyaan pemirsa yang tertarik dengan “dagangan” saya.
Alhamdulilah, paparan lancar. Niatnya mau memanjakan diri dengan makan di
restoran layaknya adegan penutup MIB III, namun dompet ini tak rela hanya untuk
seporsi makanan seharga US $15 belum minumnya, ah, malam ini pun menu pahe
lagi.
No comments:
Post a Comment