Tuesday, March 08, 2016

Menjejakkan kaki di benua Amerika (I)

Persiapan
Mungkin kisah yang paling tepat sebagai ibarat cerita ini adalah film Inception-nya DiCaprio, bermimpi di dalam mimpi, namun versi saya ini adalah kenyataan. Jika dirunut dari awal, seperti hal yang mustahil, ketika setahunan lalu, saat dosen pembimbing saya menyampaikan rencananya untuk mengikutkan saya dalam konferensi tahunan di Amerika Serikat terkait research. Waktu itu saya hanya mengiyakan saja, tanpa ada pikiran lebih jauh akan bagaimana dan seperti apa hingga tiba saatnya untuk registrasi dan mulai serius menggarap materi yang akan disampaikan saat konferensi. Ada sedikit keraguan, bahkan ketika aplikasi saya dinyatakan diterima, bahkan surat undangan sebagai bukti tambahan untuk aplikasi visa pun sudah ditangan, mengingat tidak sedikit rekan seprofesi yang ditolak visa-nya meskipun resmi menerima undangan dari pemerintah Amerika. Namun alhamdulilah, visa dengan mudah diperoleh, tiket pesawat pun didapat dengan harga bersahabat, serta referensi penginapan yang masih on budget sebagai mahasiswa.

Perjalanan
Rute kampus ke Narita cukup melelahkan dengan waktu lebih dari 2 jam perjalanan kereta. Hujan, bahkan pada saat boarding akhirnya bersalju, cukup membuat keder, mengingat saya sengaja hanya membawa pakaian seadanya karena San Fransisco seharusnya sudah hangat. Perjalanan pesawat entah berapa jam, karena saya terlampau katrok untuk berhitung perbedaan waktu, yang juga menggagalkan upaya saya untuk tidur di pesawat. Imigrasi Amerika lewat tanpa ada kenangan berarti, namun scanning penumpang di Seattle cukuplah berkesan. Lepas sabuk dan sepatu, bahkan laptop anda pun akan memperoleh perlakuan khusus jika tidak dipisahkan saat scanning. Selebihnya, kepala saya mulai lelah, mungkin akumulasi perbedaan waktu dengan kurangnya jam tidur saat itu, sehingga penerbangan Seattle – San Fransisco pun jadi selintas lalu.
Tiba di San Fransisco, mulailah culture shock. Dari mahalnya tiket kereta dari bandara ke pusat kota, termasuk kondisi subway yang tidak senyaman di Jepang, hingga minimnya petunjuk bagi pengunjung asing. Turun dari kereta langsung maklum dengan kebersihan stasiun plus gelandangan yang bergelimpangan di luar stasiun. Amerika rashii, seperti yang di film-film.
Masuk ho(s)tel pun kembali harus maklum. Dengan harga segitu, ya serba minimalis, meski tidak menyangka juga dengan begitu banyaknya ge(landangan) peng(emis) di sekitar area hostel. Setelah setting barang dan menemukan kamar mandi, meski mata ngantuk berat, namun saying jika sudah sampai Amerika cuma kalah sama jetlag. Sore itu juga, langsung jajal kaki muter sekeliling penginapan untuk cari tempat makan, lokasi took oleh-oleh, dan yang terpenting, orientasi harga barang. Hari pertama berakhir dengan kesimpulan, harga makanan lebih mahal dari Jepang, susah nemu nasi plus inceran untuk omiyage sudah bisa dikalkulasi.
Hari kedua, War Day
Lokasi konferensi sudah di tracking jauh hari sebelum berangkat, alhamdulilah cukup dekat dari hotel, mengingat harus istirahat sholat dan makan siang. Check in daftar ulang lancar, sambil menunggu waktu paparan, muter area pameran yang memang luas buanget. Dan berbeda dengan konferensi pertama di Nagoya tahun lalu, selain exhibitor jumlahnya banyak, mereka juga tidak pelit kasih souvenir, yah minimal klo mau keliling, bisa jadi supplier bolpen, hahaha. Tidak terasa kaki mulai gempor saking antusiasnya hunting souvenir, hingga selepas makan siang terpaksa charging (baca: tidur) sebentar sambil menunggu waktu ashar.

Tiba saatnya kerja, setelah poster sudah digelar sedari pagi. Ternyata sensei sudah duluan di TKP, dan hingga akhir acara tetap standby di sekitaran, sepertinya puas saya tidak melambaikan tanda butuh bantuan menjawab pertanyaan pemirsa yang tertarik dengan “dagangan” saya. Alhamdulilah, paparan lancar. Niatnya mau memanjakan diri dengan makan di restoran layaknya adegan penutup MIB III, namun dompet ini tak rela hanya untuk seporsi makanan seharga US $15 belum minumnya, ah, malam ini pun menu pahe lagi.

No comments: