Wednesday, October 25, 2017

What I talk about when I talk about Running : kenyataan indah dalam pelarian

Pain is inevitable, suffering is optional. Ketika dihadapkan pada pilihan untuk berupaya agar terus hidup sehat, Murakami memilih lari. Dia sadar, bahwa dengan profesinya sebagai seorang penulis yang membutuhkan kondisi stamina agar dapat terus sehat dan mendapat ide segar bagi karyanya, olahraga lari adalah opsi yang paling pas. Selain karena lebih mudah (hanya butuh sepatu dan music player), dia juga dapat menemukan inspirasi dan pemikiran jernih lainnya selama berlari. Murakami yang telah menekuni lari lebih dari seperempat abad hidupnya, telah menjajal sekian banyak event Marathon serta beribu kilometer latihan dengan rutin, hingga lari telah menjadi kebutuhan baginya, bukan sekedar gaya hidup yang dipaksakan.
Dengan kepiawaiannya sebagai seorang penulis novel, Murakami mampu menghadirkan tulisan yang sekaligus menjadi diary dalam rutinitasnya berlari. Secara apik dia menceritakan suka duka hidupnya, sembari menuangkan benak pikirannya ketika berlari, hingga kemudian menutupnya dengan keinginannya untuk tetap berlari, ya, dan setidaknya, dia belum pernah menamatkan suatu perlombaan lari dengan berjalan.

Bagi saya, seorang pelari “pemula” jika dibanding Murakami, menjaga idealism untuk tetap berlari demi kesehatan pribadi saja cukup susah. Selalu saja ada alasan untuk menunda jika waktu ber-olahraga-lari rutin tiba. Memang, mengalahkan diri sendiri adalah perang terbesar sesuai hadits Nabi. Namun, tulisan Murakami disini setidaknya kembali memperkuat pondasi agar saya tetap konsisten berlari (meskipun beberapa waktu ini agak susah untuk berlari). Toh, saya juga sedang menapaki jalan sebagai seorang penulis, menjejaki jalan yang dipilih Murakami, tentunya ibarat dia sudah diatas puncak Candi Borobudur, sedangkan saya masih baru naik tangga bis ke arah Magelang, wkwkwkw.

No comments: