Pain is inevitable, suffering is optional. Ketika
dihadapkan pada pilihan untuk berupaya agar terus hidup sehat, Murakami memilih
lari. Dia sadar, bahwa dengan profesinya sebagai seorang penulis yang
membutuhkan kondisi stamina agar dapat terus sehat dan mendapat ide segar bagi
karyanya, olahraga lari adalah opsi yang paling pas. Selain karena lebih mudah
(hanya butuh sepatu dan music player), dia juga dapat menemukan inspirasi dan
pemikiran jernih lainnya selama berlari. Murakami yang telah menekuni lari
lebih dari seperempat abad hidupnya, telah menjajal sekian banyak event
Marathon serta beribu kilometer latihan dengan rutin, hingga lari telah menjadi
kebutuhan baginya, bukan sekedar gaya hidup yang dipaksakan.
Dengan kepiawaiannya sebagai seorang
penulis novel, Murakami mampu menghadirkan tulisan yang sekaligus menjadi diary
dalam rutinitasnya berlari. Secara apik dia menceritakan suka duka hidupnya,
sembari menuangkan benak pikirannya ketika berlari, hingga kemudian menutupnya
dengan keinginannya untuk tetap berlari, ya, dan setidaknya, dia belum pernah
menamatkan suatu perlombaan lari dengan berjalan.
Bagi saya, seorang pelari “pemula” jika
dibanding Murakami, menjaga idealism untuk tetap berlari demi kesehatan pribadi
saja cukup susah. Selalu saja ada alasan untuk menunda jika waktu ber-olahraga-lari
rutin tiba. Memang, mengalahkan diri sendiri adalah perang terbesar sesuai
hadits Nabi. Namun, tulisan Murakami disini setidaknya kembali memperkuat
pondasi agar saya tetap konsisten berlari (meskipun beberapa waktu ini agak
susah untuk berlari). Toh, saya juga sedang menapaki jalan sebagai seorang
penulis, menjejaki jalan yang dipilih Murakami, tentunya ibarat dia sudah
diatas puncak Candi Borobudur, sedangkan saya masih baru naik tangga bis ke
arah Magelang, wkwkwkw.
No comments:
Post a Comment