Tuesday, October 31, 2017

Bocah – bocah Pirikan : refleksi sebenar-benarnya

Buku ini sebenarnya sudah terbit pada 2010, tepat pada peringatan 20 tahun SMA TN, almamater saya yang telah merubah warna hidup sedemikian rupa. Namun, saya baru berkesempatan memiliki dan membacanya saat ada tawaran paket bundling dengan sekuelnya, B2P 2.0 yang rilis bulan lalu. Jika dilihat angka tahunnya, memang tahun tersebut saya masih terpuruk kalau tidak bisa dibilang terjerembab dalam rutinitas mengabdi pada negara, halah.
Buku ini berisi catatan beberapa alumni terpilih yang perjalanan hidupnya lumayan bisa menginspirasi, setidaknya untuk dibuat perbandingan dengan lika-liku hidup saya. Idealisme serta doktrin yang begitu kuat ditanamkan selama di Magelang, kemudian diuji pertama kalinya saat mereka lulus dan melanjutkan ke jenjang berikut, cukuplah menyejukkan, betapa hidup tidaklah selalu indah. Banyak cerita sukses, namun tidak sedikit pula yang kembali ke titik nol. Cuman ya itu tadi, sedikit banyak para alumni TN susah untuk dengan sengaja meninggalkan kata-kata “ … memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara dan dunia”. Berat kan?!
Bagi saya, tidak semua tulisan dalam buku ini bagus, karena memang ada beberapa yang “nyata2” tidak sinkron/sewarna dengan tulisan lepas lainnya. Entah apa pertimbangan editor saat itu, namun saya berkesimpulan, B2P pertama ini masih kurang layak jika dibaca oleh khalayak di luar keluarga besar SMA TN.
Semoga sekuelnya lebih baik, 

Wednesday, October 25, 2017

What I talk about when I talk about Running : kenyataan indah dalam pelarian

Pain is inevitable, suffering is optional. Ketika dihadapkan pada pilihan untuk berupaya agar terus hidup sehat, Murakami memilih lari. Dia sadar, bahwa dengan profesinya sebagai seorang penulis yang membutuhkan kondisi stamina agar dapat terus sehat dan mendapat ide segar bagi karyanya, olahraga lari adalah opsi yang paling pas. Selain karena lebih mudah (hanya butuh sepatu dan music player), dia juga dapat menemukan inspirasi dan pemikiran jernih lainnya selama berlari. Murakami yang telah menekuni lari lebih dari seperempat abad hidupnya, telah menjajal sekian banyak event Marathon serta beribu kilometer latihan dengan rutin, hingga lari telah menjadi kebutuhan baginya, bukan sekedar gaya hidup yang dipaksakan.
Dengan kepiawaiannya sebagai seorang penulis novel, Murakami mampu menghadirkan tulisan yang sekaligus menjadi diary dalam rutinitasnya berlari. Secara apik dia menceritakan suka duka hidupnya, sembari menuangkan benak pikirannya ketika berlari, hingga kemudian menutupnya dengan keinginannya untuk tetap berlari, ya, dan setidaknya, dia belum pernah menamatkan suatu perlombaan lari dengan berjalan.

Bagi saya, seorang pelari “pemula” jika dibanding Murakami, menjaga idealism untuk tetap berlari demi kesehatan pribadi saja cukup susah. Selalu saja ada alasan untuk menunda jika waktu ber-olahraga-lari rutin tiba. Memang, mengalahkan diri sendiri adalah perang terbesar sesuai hadits Nabi. Namun, tulisan Murakami disini setidaknya kembali memperkuat pondasi agar saya tetap konsisten berlari (meskipun beberapa waktu ini agak susah untuk berlari). Toh, saya juga sedang menapaki jalan sebagai seorang penulis, menjejaki jalan yang dipilih Murakami, tentunya ibarat dia sudah diatas puncak Candi Borobudur, sedangkan saya masih baru naik tangga bis ke arah Magelang, wkwkwkw.

Friday, October 20, 2017

47 ronin : pejuang tak bertuan

Hasil gambar untuk 47 ronin bookSaat majikan menjadi korban, karena alasan apapun, dendam haruslah dibalaskan. Bahkan, salah satu aturan bagi seorang samurai, tidak boleh hidup dibawah langit yang sama dengan pembunuh tuannya, telah menjadi harga mati yang melandasi cerita utama novel ini. Berlatar pada jaman ketika pengaruh samurai mulai luntur di Jepang, dimana para bangsawan penguasa daerah mulai diatur sedemikian rupa oleh kekuasaan kaisar di Edo (Tokyo saat itu). Pengaturan kekuasaan ini tentunya juga diwarnai penyimpangan, khususnya yang berurusan dengan upeti maupun sogokan. Tokoh antagonis utama, Kira, akhirnya menang secara hukum, yang mengharuskan bangsawan Asano melakukan “seppuku”, keluarganya diasingkan dan seluruh hartanya disita negara. Tentunya, para samurai pengikut setia klan Asano lalu mengemban misi luhur untuk membalaskan dendam keluarga Asano dan mengembalikan kehormatan klan, meski nyawa mereka menjadi taruhannya.

Cerita di novel ini cukup berbeda dengan plot yang sudah difilmkan dengan judul sama. Tidak muncul peran Keanu Reeves seperti layaknya Tom Cruise dalam The Last Samurai, wkwkwk. Perjalanan panjang Oishi, pimpinan samurai klan Asano dalam mengatur strategi pembalasan dendam majikannya digambarkan dengan jelas dari sudut orang ketiga. Saya akui, sangat sedikit dialog antar tokoh dalam cerita ini, termasuk kata-kata bijak seperti yang saya temukan saat membaca novel tentang samurai sebelumnya. Cerita mengalir begitu saja, bahkan terkesan membosankan jika sedari awal saya tidak menjaga rasa penasaran akan bagaimana kisah ini akan berakhir. Namun, ada baiknya, pembaca juga menonton film-nya, supaya tahu bahwa novel selalu lebih manis daripada versi layar lebar.