Tuesday, October 06, 2015

jejak 1 semester

tidak terasa, or memang sudah tidak dirasakan, hehehe

seperti biasa, waktu berlalu dengan cepatnya jika kita mau menilik kebelakang. beberapa hari lalu, sudah kali ke enam saya menyobek kalender yang tertempel di loker, menandakan genap satu semester saya berada disini. sesuai kalender pendidikan, minggu ini adalah minggu yang berat bagi para cadet dan mahasiswa, karena dijadwalkan pelaksanaan ujian akhir semester. namun, hampir seluruh materi kuliah S2 apalagi S3, tidak diadakan ujian "konvensional" tertulis, tapi dalam bentuk penugasan, dan beberapa diantaranya sudah wajib dikumpulkan sebelum musim ujian ini, seperti yang saya alami.
Image result for passport service indonesian
namun kali ini saya lebih ingin berkilas balik, atas apa yang terjadi selama 6 bulan ke belakang. diawali dengan kegembiraan dan suka cita, bahwa kesempatan belajar yang saya mimpikan sejak 10 tahun lalu akhirnya sudah tiba di depan mata. tetapi, sontak kegembiraan itu sirna, karena mimpi indah yang saya bayangkan, ternyata memiliki bagian kelam, wiiiih. setibanya di negeri sakura ini, rasa kangen dan berat berpisah dengan keluarga kecil saya begitu kuatnya menggelayuti pikiran. saya sudah pernah dinas beda kota yang memungkinkan hanya seminggu sekali bertemu mereka, namun kali ini, dengan jarak yang begitu jauh, serta beban tambahan yang harus dipikul istri saya, sempat memunculkan beberapa episode perang bathin untuk memompa semangat belajar saya.

masalah berikutnya adalah keuangan yang sempat tersendat hingga bulan keempat saya hidup disini. entah karena birokrasi negara tercinta yang memang susah, ataukah yang Maha Kuasa sedang menguji saya (sekalian), sampai akhirnya "cerita" tentang mahasiswa kelaparan juga sempat saya alami. tidak perlulah detail, toh buktinya saya masih sarapan roti plus susu kok. bahkan periode ini juga mendidik saya untuk lebih berhemat dan bertarung dalam mengatur pengeluaran uang, hehehe.
berikutnya, adalah interaksi. dalam mimpi, saya mendapatkan kesempatan untuk reboot skill bahasa Jepang saya, selain karena waktu juga kesempatan berinteraksi langsung dengan native speakernya disini. namun yang ada malah sebaliknya. di lab, saya seorang sendiri, hanya ada seorang professor pembimbing (yang pada awalnya beliau super sibuk dengan jadwalnya sendiri). mata kuliah pun tidak sebanyak saat S1, pun dengan jumlah mahasiswa yang sangat minimalis. di mess lebih parah lagi. hampir semua penghuninya baru akan kembali ke kamar berdekatan dengan waktu pergantian hari. hanya terdengar suara langkah kaki, buka - tutup pintu, END. beruntung, kami "dipaksa" melaksanakan kurve seminggu sekali, kesempatan tunggal untuk "benar2" sekedar mengucap selamat pagi, untuk kemudian lanjut sektor masing2. satu2nya "native speaker" yang setia adalah siaran radio analog dari Zenfone saya yang masih berfungsi normal (saya baru punya TV pada bulan ke empat, setelah beasiswa turun).
klo masalah belajar, lupakan saja, hahaha .. selain materi pembimbing kali ini benar2 beda dari apa yang pernah saya pelajari saat S1 (catat : kedatangan saya yang hampir terlambat berakibat pada ketiadaan kesempatan untuk memilih jurusan, klo tidak boleh dibilang sisa), ternyata pola penelitian pun sangat berlawanan. saya yang awalnya lebih nyaman utak2 software di depan laptop, kemudian dihadapkan pada uji laboratorium dengan segala parameternya, termasuk ke-tidak-langsung-annya akan hasil yang diperoleh. beberapa waktu kemudian, barulah saya menyadari memang dibutuhkan keuletan dan ketekunan juga waktu lebih untuk menemukan pola dari rangkaian uji lab ini.
hmmmm, suram ya, to be continued ya. 

Thursday, September 24, 2015

Idul Adha, memoriku

alhamdulilah, tahun ini masih diberikan kesempatan ber-Idul Adha, meski terpisah dari keluarga, namun masih diberi kesempatan untuk menunaikan Shalat Id, pun secuil kegiatan yang digelar oleh KMII Jepang.

suasana kegiatan shalat Id tahun ini, memang relatif lebih sepi, karena bertepatan dengan hari kerja yang merupakan hari pertama setelah rangkaian libur Silver-week, namun tetap saja shalat digelar 2x mengingat beberapa jamaah masih berdatangan dari tempat yang jauh dimana mereka tidak memungkinkan untuk dapat hadir di lokasi meskipun sudah naik kereta paling pagi. belum lagi jamaah yang hanya dapat "ijin" dari instansi-nya hanya beberapa jam, seperti saya, sehingga setelah shalat harus buru kabur dan kembali menuju kampus, meskipun hati ini masih ingin memuaskan telinga mendengar canda tawa dalam bahasa ibu yang membahana di bazaar Indonesia tadi, ah..

yang sedikit berbeda, tidak ada pemotongan hewan kurban disini. KMII memang menyiapkan loket untuk menerima penyaluran kurban dalam bentuk dana, yang nantinya akan diteruskan ke lembaga kurban di tanah air. memang, kondisi disini kurang memungkinkan untuk melaksanakan pemotongan hewan, selain dikarenakan kaum penerima yang juga "kurang pas", juga masyarakat sekitar yang sepertinya belum siap dengan ibadah ini. namun saya cukup gembira melihat lumayan banyaknya dana saluran kurban yang diterima oleh panitia.
yaaah, jika diingat2, duluuuuuuu, ingatan awal saya terhadap kegiatan potong hewan kurban, yaitu pada jaman SD. kebetulan sekolah saya termasuk sekolah "kecil" dengan jumlah murid sekitar 35 siswa/tahun-nya, namun juga bukanlah sekolah eksklusif, malah sebaliknya, tidak sedikit para muridnya yang "menunggak" SPP bulanan saat itu. sehingga dengan segala susah payah, pengumpulan dana dan donatur, memungkinkan sekolah kami untuk berkurban rutin seekor kambing pertahunnya. tentu saja daging kurban diprioritaskan kepada beberapa rekan "penunggak" SPP tadi serta beberapa fakir miskin, sehingga tertanam dalam benak saya, bahwa mereka yang menerima daging kurban tadi adalah kaum dhuafa yang benar2 hanya bisa merasakan makan daging ya pada saat idul adha ini saja.
pada saat SMP, logika tersebut agak berubah. sekolah saya termasuk favorit, dengan banyak anak orang kaya dan tentu saja bebas "penunggak" SPP. disana saya terlibat langsung dalam penyiapan dan penyaluran hewan kurban, dan menjadi kesempatan pertama saya melihat penyembelihan seekor sapi sampai si sapi tersebut masuk dalam plastik kresek dan dibagikan. saya pun menerima sebungkus daging sapi dan kambing, sebagai "imbalan" kepanitiaan saya. ooh, mungkin ini jatah amil.
saat SMA, jumlah hewan yang dikurbankan semakin banyak. beberapa teman saya juga atas nama pribadi menyumbangkan hewan kurbannya, yang merupakan hal baru bagi saya, mengingat kenyataan saat SD tadi. kembali saya menjadi panitia, dan tentu saja jatah amil pun kembali saya terima. kini, masyarakat yang sudah mampu, dengan mudahnya dapat memilih menyalurkan "hewan kurban" melalui beragam metode. beberapa kali ini, saya lebih memilih menyalurkan melalui lembaga, dan tentu saja berupa donasi yang telah ditawarkan. membeli kambing yang dijajakan "demi" Idul Adha masih menyisakan gejolak bagi saya. betapa kegiatan tersebut sudah menjadi industri, dan tentunya adanya tawar-menawar harga yang "fantastis" menjadikan saya khawatir akan mengurangi keikhlasan berkurban. tentu saja, kali ini saya tidak lagi ikut menjadi amil/panitia (picture not related) lagi. tapi, disaat pintu rumah diketuk adik2 dari karang taruna komplek, "Oom, ini dari masjid", setiap tanggal 10 Dzulhijah sore, kembali saya bertanya, ini jatah siapa??

ikhlas, 

Thursday, September 17, 2015

Rantau 1 Muara, nyatat lagi

rupanya tak salah rumor yang menyebutkan, bahwa sequel seringkali berhasil menguatkan kesan cerita sebelumnya, atau bahkan gagal dan malah memperburuk prequel-nya. setelah terkesima dengan Negeri 5 Menara kemudian cemberut karena Ranah 3 Warna, sehingga saya memaksakan untuk meneruskan ke plot terakhir ini.
「rantau 1 muara」の画像検索結果
alur diawali dengan pertanyaan klasik bagi wisudawan, mau kemana setelah kuliah. lapangan kerja mungkin bertebaran, tapi para pencarinya pun lebih banyak. jika hanya bermodal ijazah, belum lagi minat dan kemampuan yang mumpuni, wassalam deh. kisah kemudian mengalir lancar, beserta dinamika sebagai pekerja baru, dengan segala dinamikanya, termasuk romantika cinta yang dikemas tidak terlalu vulgar. cerita di amrik cukup menambah pengetahuan, semoga ada kesempatan tinggal disana juga, hehehe.
happy ending? YA. jalan ceritanya cukup realistis sebagaimana liku-liku hidup manusia pada umumnya. ada kalanya susah-senang, terkadang berjaya di atas namun juga tak jarang terlindas di bawah. pilihan selalu ada dan kitalah yang menentukan pilihan, tentunya dengan bimbingan dan atas petunjukNya. cerita diakhir kiranya meninggalkan bekas mendalam bagi saya, ketika kita sudah menetapkan sebuah keputusan, kemudian tidak jarang datang lagi pilihan yang nampaknya lebih menggiurkan. kesemuanya kembali pada pribadi masing2, saatnya bertanya pada diri sendiri, apa tujuan kita, apa sebenarnya yang kita ingin dan butuhkan. terkadang ego terlalu cepat mengambil posisi di depan mendahului kita dalam memilih, sehingga yang utama sering tersisih. be carefull ya, plus kenali dan tentukan tujuan hidup-mu, yuuuuk.

Wednesday, September 16, 2015

the 76th JSAP Autumn Meeting, 13 - 16 Sept 2015

Alhamdulilah, satu tantangan sudah terlewati.

sebagai bagian dari ritual menjadi researcher disini, meski secara administratif tidak akan dicantumkan dalam transkrip akademik, berpartisipasi dalam seminar/conference memang akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan. dimulai dari gabung member komunitas "peneliti", daftar materi presentasi, kemudian harap2 cemas bakalan gol/tidaknya, hingga presentasi pada hari H. tentu saja, hambatan juga mengganjal di setiap tahapnya, seperti hasil penelitian yang akan disajikan kurang menarik, bahkan ada kalanya hasilnya gagal merujuk kepada suatu kesimpulan, wadoooh.

 seminar kali ini cukup menarik diulas, meski mungkin buat mereka yang sudah langganan ikut akan menjadi hambar. bagi saya, kesempatan ini memberi pelajaran untuk lebih saling menghargai antar sesama member, dimana beberapa dosen saya, pada kesempatan yang sama, juga "rela" memaparkan penelitiannya dan menerima "hujatan" dari audiens, layaknya seorang siswa program master yang bau kencur dalam hal research. ada juga beberapa kali, disaat sang pemapar (sepertinya mahasiswa juga) sudah gelagapan menerima pertanyaan, tiba2 tertolong karena ada seseorang yang mengaku melakukan peneletian bersama si pemapar (biasanya adalah sang dosen pembimbing) memberikan jawaban kunci nan analitis, sehingga penanya (yang biasanya juga seorang dosen pembimbing) langsung maklum sambil mengangguk2, sementara kami para mahasiswanya, hanya bisa melongo. ada pula tipe terlalu PD, biasanya karena mereka membawa nama besar universitasnya yang tersohor, namun karena materi yang disampaikan terlalu "berat", sehingga menjadi senjata makan tuan; hadirin gagal paham, pemapar juga kurang fokus menyajikan idenya. ujung2nya, terjadi lagi dialog antara para dosen pembimbingnya, dan untuk tipe ini, beberapa kali sang dosen mengakhiri jawabannya dengan minta maaf. 
nah, saya kebetulan tergolong mahasiswa yang nge-pas2n, baik dari segi ilmu maupun finansial, eh maksudnya bahasa pengantarnya. kalo hanya untuk presentasi dengan powerpoint, pada saat di kantor plus kursus pengajar dulu, bekal sudah cukup banyak dengan jam terbang lumayan. namun karena materi kali ini sangat awam bagi saya, ditambah lagi bahasa pengantarnya harus disampaikan kepada native speaker, wadooooh, sempat keder juga. alhasil, urutan penyampaian materi di-utak atik sesederhana mungkin, intinya ide bisa tersampaikan, dengan cara se-simple mungkin, hehehe. bahkan, trik lama pun dipakai, yaitu buat "lubang" agar penanya bisa digiring kesitu, and it's works, again. 
akhir kata, saya mendapati betapa minimnya ilmu saya, dan motivasi-lah kunci utama menuju kesuksesan. it is not what happened in the past, your goals are the most important, kurang lebih begitu pesan seorang berkebangsaan Perancis yang saya temui dalam lift, dengan bangganya dia memperkenalkan diri sebagai Assosiate Professor. yes, Sir !!

Tuesday, August 18, 2015

Ranah 3 Warna, catatan saya

pada saat pulang mudik ke Indonesia kemarin, dengan semangat setelah motivated untuk terus mengasah otak plus menghapus kesendirian dengan melarikan diri kepada buku, terpilihlah beberapa judul buku yang sebenarnya sudah cukup lama penasaran untuk membacanya, namun apa daya baru sekarang punya kesempatan, yaitu Ranah 3 Warna karya A.Fuadi, buku kedua setelah Negeri 5 Menara yang booming itu.
 meski bukan terbitan baru, dan resensi sudah ditulis banyak blogger, namun bagi saya membaca "semi biografi" seseorang tidaklah pernah menjadi hal yang membosankan. jujur saja, saya cukup impressed dengan buku pertama, dimana saya juga pernah merantau bersekolah di kampus berasrama dengan didikan khas serupa dengan suasana yang dialami penulis. maka, pada buku kedua ini saya tertarik untuk mengetahui perjalanan selanjutnya karena gaya bahasa yang digunakan sesuai dengan minat saya, berbeda ketika saya menyelesaikan kisah Laskar Pelangi dengan susah payah.

「ranah 3 warna」の画像検索結果
awal kisah yang diawali dengan kesengsaraan dan kesedihan, kiranya cukup memompa semangat maupun keinginan saya untuk terus bangkit dan maju, kebetulan di tengah tugas-tugas kuliah yang cukup menumpuk. paling tidak nasib saya masih jauh lebih baik dari Fikri, hehehe. konsep sabar yang berarti tidak hanya berdiam diri menerima cobaan cukup menusuk hati dan membangkitkan semangat untuk mencari jalan lain maupun berusaha lebih keras dengan perbaikan.

tarik ulur kisah cinta, hmmm, boleh lah, mungkin karena memang masa-masa mahasiswa adalah saat penuh gejolak asmara, hahaha, ini juga saya alami sendiri. meski kok merasa saya kurang greget dengan gaya penyampaiannya yang terlalu datar, tapi mengingat novel ini memang untuk segala usia, yaaaa bolehlah, toh saya juga sudah melewati usia 30 tahun, yang sebenarnya lebih membutuhkan sharing untuk kedepannya, hahahaha.

setelah bagian keluar negeri, semangat saya hilang. apalagi penulis terkesan memaksakan menerjemahkan 3 warna dengan memasukkan transitnya yang hanya sebentar untuk melengkapi pijakan kakinya di tiga ranah yang berbeda. maaf ya mas, menurut saya kok kurang pas, apalagi sudah dimunculkan pada awal bagian kisah di Kanada, jadi ceritanya kebelakang serasa hambar bagi saya. 

semoga, dalam buku terakhir yang sudah saya nitip belinya, saya kembali mendapat pencerahan. 

Tuesday, August 11, 2015

aktif mencari tahu, yuk

Minggu lalu saya sempat terkesima, membaca halaman Fanpage seorang profesor asli Indonesia yang sudah menunjukkan kesuksesannya dalam bidang penelitian di negeri Jepang ini. Saya tertegun dengan foto tumpukan buku baru dengan tag, siap untuk dibaca, demi mengasah otaknya, menemukan apa yang selama ini terlewatkan, begitulah kurang lebih. karenanya, saya perhatikan tumpukan buku itu, ternyata tidak melulu bertemakan materi penelitian, namun juga terselip beberapa novel, tulisan non fiksi, analisa politik, yang tentunya juga multi bahasa.

「tumpukan buku」の画像検索結果Penasaran, saya scroll arsip kebelakang, ternyata bapak ini sepertinya memiliki ritme tertentu untuk panen tumpukan buku bacaan ini.Tebakan saya, mungkin ada kerabat atau kenalan, bahkan sengaja titip dibawakan buku dari tanah air, karena biasanya lebih murah, lalu disaat bersamaan membeli buku berbahasa Jepang dengan genre yang berbeda.Beliau saja, yang menyandang status sebagai profesor, dengan berbagai macam gelar kependidikan dan penghargaannya, masih merasa perlu dan kurang untuk selalu membaca, bahkan tidak menutup diri hanya dengan menunjukkan kemampuan di satu bidang. Nah saya, status boleh mahasiswa S2, namun jangankan untuk melirik novel, bahkan untuk sekedar browsing artikel maupun jurnal yang mendukung research saja, sudah ampun bukan kepalang. Kemauan jelas ada karena terpaksa diharuskan mencari sumber sebanyak mungkin guna mendukung naskah thesis, namun kemampuannya masih belum imbang dengan tuntutan. Jikalau hanya membaca, mungkin selintas mata bisa saja dengan metode speed reading. Namun untuk menemukan inti naskah dilanjut mencari hubungan dengan materi penelitian plus menerapkannya, hmmm sepertinya masih butuh latihan.

Tidak salah jika menilik kembali doktrin dasar yang pernah dijejalkan pada saat SMA dulu, aktif mencari tahu, kiranya perlu digenjot lagi. Kemauan sudah ada, ayo tingkatkan kemampuan. Semoga Allah memberkati sumpah dan janji kita, ヨッシャ~、行け!!


Tuesday, July 28, 2015

catatan mudik 1436 H






Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan bathin


kiranya, hampir semua pesan sms ataupun broadcast message yang beredar melalui smartphone saya bernada serupa di penghujung Ramadhan tahun ini. Alhamdulilah, saya masih diberikan kesempatan untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga saya, meski sedikit bergeser dari keinginan awal, tapi tetaplah patut disyukuri.

menuju Indonesia
Perjalanan yang saya tempuh, dimulai dari berangkat dari mess tercinta, yang baru saya tinggali sejak bulan April lalu, untuk menuju Tokyo guna pamitan sekaligus menyelesaikan perijinan yang wajib karena status saya sebagai pegawai negeri. Rencana awal untuk berangkat menggunakan commuter line ke bandara Haneda, terpaksa dibatalkan karena rupanya ada dukungan kendaraan yang mengantar dari KBRI, alhamdulilah, meski saya juga kasihan dengan driver yang harus meluangkan waktu liburnya demi saya. Check-in Haneda aman, imigrasi clear, kemudian boarding sampai dengan pesawat take-off menuju Cengkareng, nothing spesial.

Image result for mudik

nah, pada saat jam makan siang, para pramugari GA sepertinya tidak menyiapkan menu khusus atau "memberi" toleransi kepada mereka yang berpuasa. memang sih, tidak ada kewajiban untuk mendukung umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, namun sebagai maskapai pemerintah RI, alangkah baiknya, jika mereka menawarkan "special option" bagi warga muslim, terkhusus WNI yang sudah memilih penerbangan dengan mereka. berdasar jadwal, penerbangan saat itu memang dijadwalkan pada 11.30 AM hingga 17.15 WIB, sehingga tidak ada kesempatan bagi penumpang muslim untuk makan jika mereka memilih untuk menjalankan puasanya hari itu. beruntung, penumpang di sebelah saya memutuskan untuk berbuka puasa pada pukul 03.00 PM (infonya, dia memilih mahzab dimana jangka waktu berpuasa mengikuti waktu Arab, yaitu sekitar 15jam, terhitung dari sahurnya, detilnya saya kurang tahu, meski dalam hati ingin sekali bertanya lebih jauh), sehingga saya memanfaatkan waktu itu untuk "meminta" jatah makan siang saya guna saya bungkus sebagai bekal "buka puasa" yang sebenarnya nanti.

Cengkareng-Bandung perjalanan lancar dengan jasa travel yang agak sedikit lebih mahal, alasannya tuslah, oke deh.

Bandung - Semarang (400km),
meski kali ini sedikit was-was, mengingat hampir 4 bulan saya absen nyetir dan kondisi mobil yang lebih banyak nongkrongnya plus keterbatasan waktu untuk last check ke bengkel, namun akhirnya perjalanan bisa terlewati dengan aman. 13jam sudah lebih baik, mengingat ini juga musim mudik, apalagi 6 jam kemudian, media massa menayangkan berita kemacetan luar biasa, hingga untuk menembus jarak 25km saja membutuhkan waktu 15jam pada rute yang telah saya lewati. Alhamdulilah.

Semarang - Bandung
karena istri sudah harus ngantor esok harinya, mau tidak mau, kami harus pulang. alhamdulilah lagi, perjalanan bisa terselesaikan kurang dari 10jam. hampir tidak ada kemacetan berarti, selain mengantri masuk tol antara Tegal-Brebes, selebihnya jalanan lancar layaknya weekend. namun, rupanya fisik tidak bisa dibohongi. badan sakit semua, hidung bumpet plus mbeler, ditambah lagi mata yang mulai bengkak, haduuuuh.

kembali ke Jepang
liburan tak terasa, karena memang hanya 10 hari termasuk perjalanan P.P dengan pesawat internasional plus bersuka cita mudik lewat pantura. meski sempat was-was karena menurut siaran breaking news, jalur menuju Jakarta macetnya sudah tidak bisa diampuni, namun akhirnya sampai juga saya di bandara Cengkareng setelah menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam dari Bandung. sedikit diluar perkiraan, bahwa barang bawaan bagasi saya ternyata cukup banyak dan berat juga, apalagi ditambah titipan dari KBRI untuk sekalian mengangkut seragam paskibra. seperti biasa, boarding di Soetta menjadi hal yang melelahkan. setelah beberapa kali screening barang bawaan oleh pihak bandara (prosedur yang bagus sh), akhirnya penumpang kembali harus naik turun tangga setelah menunggu di gate maskapai, kemudian lanjut feeder bis menuju gate lain, kembali naik tangga barulah kemudian bisa masuk pesawat. entahlah. perjalanan dengan pesawat lumayan nyaman, meski sang mentari sepertinya terlalu cepat menampakkan dirinya, sehingga mata ini masih menagih beberapa menit lagi untuk beristirahat. landing Haneda, lewati imigrasi, ambil bagasi, senyum pada Custom, kemudian lanjut commuter line menuju kampus tercinta.

sudah musim panas rupanya,